Hitam Putih -Raihan pendapatan tak kurang dari Rp150 triliun pada tahun 2015 membuat cukai rokok menjadi pendapatan terbesar Indonesia. Pendapatan negara dari rokok disebut lebih besar ketimbang uang resmi yang diterima pemerintah dari perusahaan tambang Freeport yang menggali alam Papua.
Namun rokok juga membuat pemerintah mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk menangani penyakit dan turunan penyakit yang ditimbulkan oleh tembakau, bahan utama rokok.
Sedikitnya Rp50 triliun digelontorkan untuk biaya kesehatan masyarakat terkait dampak rokok. Ironis bahwa di Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh hari ini, 31 Mei, negara belum menyepakati aturan yang mengarah pada bentuk perlindungan terhadap rakyat atas dampak paparan asap rokok tersebut.
Segi bisnis jadi salah satu alasan utama yang membuat soal tembakau dan produk turunannya menjadi begitu longgar, meski ada pula faktor lain seperti nasib para pekerja di sektor pertembakauan.
Soal penyakit akibat rokok, pengusaha dan industri rokok enggan disalahkan sepenuhnya. Menurut mereka, tak adil jika segala jenis penyakit dikaitkan dengan rokok.
Pengusaha bahkan berani menjamin jika pendapatan dari rokok jauh lebih besar ketimbang biaya pengobatan akibat dampak buruk rokok.
“Harus fair dong, jangan sedikit-sedikit menyalahkan industri rokok.Belum ada penelitian yang menyimpulkan semua data penyakit itu benar-benar akibat rokok,” kata Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo kepada CNNIndonesia.com, Rabu
Budidoyo meminta peraturan pemerintah soal rokok harus bisa memfasilitasi semua pihak, baik dari segi kesehatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif, pun soal pertanian tembakau yang rencananya dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Satu hal yang benar-benar ditolak oleh industri rokok yaitu ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menurut mereka, Indonesia tak perlu patuh dengan kesepakatan asing karena aturan soal tembakau telah terakomodasi dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
“Ngapain FCTC ditandatangani? PP 109 sudah cukup untuk menangani masalah kesehatan terkait rokok. Jangan apa-apa yang dari luar diambil begitu saja. Kami jelas menolak Indonesia tanda tangan,” ujar Budidoyo.
Setidaknya ada tiga pasal dalam FCTC yang menjadi perdebatan kalangan pro dan kontra produk tembakau, yakni Pasal 9 mengenai aturan kandungan tembakau, Pasal 10 tentang pengungkapan isi produk tembakau, dan Pasal 17 soal pengendalian sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif.
Ketakutan akan Pasal 9 dan 10 FCTC, khususnya bagi perusahaan rokok kecil dan menengah, lantaran penakaran dan jumlah kandungan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan besar dengan teknologi mumpuni. Tak hanya itu, Pasal 9 membuka ruang lebar bagi perusahaan rokok putih (asing) untuk dominan karena mereka mampu mengadaptasi standar internasional tersebut.
Saat ini di Indonesia, FCTC bahkan tidak mencuat menjadi isu arus utama. Dua tahun pascapenandatanganan FCTC di Jenewa, Swiss, perusahaan rokok terbesar di dunia Philip Morris mengakuisisi HM Sampoerna pada Maret 2005. Itu adalah pembelian saham paling besar di Bursa Efek Indonesia sampai saat ini.
PT Philip Morris Indonesia mengakuisisi Sampoerna dengan harga saham Rp10.600 per lembar, 20 persen di atas harga pasar. Transaksi 40 persen saham tersebut senilai Rp18,6 triliun dan menjadi transaksi paling besar sejak berdirinya BEI pada penutupan perdagangan 18 Maret 2005 dengan total keseluruhan saham Rp45,066 triliun. Namun pemerintah hanya puas dengan pemasukan pajak 0,1 persen, atau setara Rp45 miliar.
Wakil AMTI lainnya, Hananto, mengatakan sampai saat ini cukai rokok masih menjadi tumpuan pendapatan negara. Setidaknya Rp150 triliun masuk tiap tahun ke rekening negara. Menurutnya, pendapatan itu adalah yang terbesar dari semua jenis bisnis.
Cukai rokok di Indonesia bahkan menggunakan sistem ijon di mana perusahaan rokok harus membayarkan cukainya terlebih dahulu sebelum rokok terjual.
Data yang dikeluarkan International Trade Centre, The Tobacco Atlas, serta American Cancer Society and World Lung Foundation pada 2013 dan diterbitkan The Washington Post 29 Oktober 2013 menunjukkan jika Indonesia mencatatkan diri di urutan pertama sebagai negara dengan pendapatan ekspor terbesar di dunia dari produksi tembakau pada tahun 2012.
Setidaknya US$624,6 juta didapat Indonesia dari 180,5 miliar batang rokok, disusul Republik Dominika yang mengantongi US$435,6 juta dari dua miliar batang rokok, Kuba US$260,5 juta dari 14,4 miliar batang rokok, Ukraina US$256,63 dari 101,8 miliar batang rokok, dan Honduras US$103,3 juta dari 6,8 miliar batang rokok.
Penjualan rokok di Indonesia yang mengesankan membuat negeri ini jadi ladang potensial pengerukan uang di industri tembakau, dan menjadi langkah tepat dari segi bisnis oleh, salah satunya, Philip Morris dengan mengakuisisi HM Sampoerna.
Tentu saja pendapatan bisnis rokok yang menggiurkan menjadi kendala tersendiri bagi Kementerian Kesehatan. Data Kemenkes menyebutkan sejak 2014 sampai September 2015, ada ribuan kasus penyakit kronis akibat rokok yang membuat negara harus mengeluarkan biaya.
Pada 2014 terdapat 4.891 kasus penyakit jantung yang memakan biaya Rp8.189 miliar, dan berkurang menjadi 3.955 kasus pada 2015 dengan menghabiskan biaya sebesar Rp5.463 miliar.
Untuk penyakit gagal ginjal akibat rokok terdapat 1.406 kasus dengan menghabiskan Rp2.257 miliar, dan tahun 2015 sebanyak 1.211 kasus dengan biaya Rp1.665 miliar. Sementara penyakit kanker akibat rokok terdapat 936 kasus pada 2014 dengan biaya Rp2.211 miliar, dan 757 kasus pada 2015 dengan biaya Rp1.413 milliar.
Adapun masyarakat yang mengalami stroke akibat rokok pada 2014 berjumlah 550 orang dengan biaya Rp1.051 miliar, dan pada 2015 sebanyak 468 kasus dengan biaya Rp687 miliar.
Selain keempat penyakit dengan jumlah kasus tertinggi tersebut, terdapat juga penyakit talasemia atau kelainan darah dengan jumlah kasus 80 pada 2014 yang menghabiskan dana Rp282 miliar, dan 57 kasus pada 2015 dengan biaya Rp217 miliar. Ada pula 98 kasus penyakit cirrhosis hepatis pada 2014 yang menguras dana Rp262 miliar, dan 73 kasus pada 2015 dengan biaya Rp162 miliar.
Belum lagi penyakit hemofilia dengan jumlah 18 kasus pada 2014 yang memakan biaya Rp66 miliar, dan 14 kasus pada 2015 dengan biaya Rp52 miliar.
Rokok umumnya menelan korban masyarakat kelas bawah. "Korban rokok adalah rakyat miskin, sopir, petani yang buta huruf. Yang untung? Pabrik, industri, dan pengusaha rokok,” ujar tokoh masyarakat Ahmad Syafii Maarif.
“Kalau iba dengan bangsa ini, kita harus bergerak cepat, membuat gelombang besar melawannya. Untuk siapa? Untuk pemuda dan anak cucu kita. Kalau tidak, 'wasalam' negara kita," kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu.
Selain Syafii, Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin juga mengatakan rokok merupakan sumber penyumbang terbesar kedua bagi kemiskinan masyarakat.
"Kalau uang rokok dibelikan beras, maka kalori naik jadi 2.100 kalori per kapita per hari. Kalau mencapai angka itu, maka Indonesia telah keluar dari garis kemiskinan," ujar Suryamin.
Melindungi masyarakat dengan mencoba menyusun kebijakan adil, sama sekali tak mudah. Terlebih di tengah pusaran duit triliunan bisnis rokok.
Sumber http://www.cnnindonesia.com
Baca juga
Lewat Alat Musik Harpa Rama Widi Bakal Mengharumkan Nama Indonesia Di Austria 8 Juni 2016 Nanti
Sebuah Koper Berisi 6 Detonator Diamankan Tim Jihandak Brimob Polda Sulsel Di Pelabuhan Makasar