Hitam Putih -Nama Indonesia kembali harum setelah Prenjak (In The Year of Monkey), film garapan sineas Yogyakarta menyabet penghargaan film pendek terbaik Festival Film Cannes 2016, di Prancis. Sutradara Wregas Bhanuteja, 23 tahun, dan empat rekan kru film pulang ke Tanah Air membawa Leica Cine Discovery Prize sebesar 4.000 euro.
Film 12 menit ini rupanya daur ulang karya lama Wregas. Dengan topik yang serupa, sutradara memperpanjang durasi film dengan cerita tambahan. Saat kuliah semester VI di Institut Kesenian Jakarta, Wregas membuat film pendek 3 menit berjudul Ciblek. Nama burung prenjak Jawa yang doyan berkicau ini dianggap cocok menggambarkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan uang dengan menjual diri.
Di Yogyakarta, sekitar 1980, ciblek memiliki makna lain. Akronim untuk cilik-cilik betah melek (kecil-kecil doyan melek) ini disematkan kepada gadis remaja yang sering nongkrong di Alun-alun Kidul, Yogyakarta, hingga tengah malam. Dengan aturan feodal yang masih kental di Jawa saat itu, amat jarang perempuan berani keluyuran tengah malam di tengah kota. Prostitusi kian menjamur di sana dan ciblek berubah arti menjadi cilik-cilik iso digemblek (kecil-kecil bisa diselingkuhi).
"Ciblek dan Prenjak beda tipis, dan saya rasa cerita ini wajib digarap lagi," kata Wregas seusai pemutaran di kampus IKJ, Cikini, Sabtu, 28 Mei 2016.
Kisah Prenjak diambil dari pengalaman penjual ronde di Alun-alun Yogyakarta. Dengan setengah memaksa, Diah (diperankan Rosa Winenggar) meminta kawannya, Jarwo (Yohanes Budyambara), membeli korek api kayu yang ia jual Rp 10 ribu per batang. Bagi Jarwo, harga ini tak masuk akal, apalagi ia juga mengantongi korek gas di sakunya. Tapi, dengan sebatang korek itu, Jarwo bisa melihat tubuh Diah tanpa boleh menyentuhnya.
Tak puas sekali, Jarwo membeli tiga batang korek lagi. Di bawah meja, Jarwo mencecar Diah dengan pertanyaan soal pacar dan pekerjaan. Ia ingin Diah menikah supaya tak perlu bekerja keras dengan cara itu.
Diah kesal. Toh, hubungan dengan Jarwo hanya sebatas jual-beli korek, bukan konsultasi psikologi. Ia juga telah mengantongi Rp 40 ribu dari Jarwo. Saat hendak pergi, Diah menerima tawaran melihat tubuh Jarwo. Jarwo siap membayar Rp 60 ribu lagi agar utang Diah lunas.
Karena korek api itu, listrik di rumah Diah hidup lagi. Diah bisa memandikan anaknya yang masih balita dengan sukacita, meskipun ia harus kembali menjawab pertanyaan: "Bapak mana, Bu? Enggak ada."
Menurut Wregas, film ini juga menggabungkan kisah pribadi temannya yang harus menjadi ibu tunggal setelah hamil di luar nikah. "Ini juga metafor bahwa Lingga dan Yoni seharusnya saling melengkapi. Ada kerinduan di sana," kata lelaki kelahiran Yogyakarta itu.
Ia berhasil membuat para juri Cannes tertawa terbahak-bahak karena film ini. "Begitu melihat akhir cerita, mereka bilang ini pantas menang." Wregas mengajak penontonnya menertawai nasib dengan candaan—legowo, kata orang Jawa.
Di Indonesia, Wregas tak menuntut filmnya diputar di sejumlah tempat. Gambar tubuh yang ditampilkan secara jelas membuat film ini tak akan lulus sensor, dan masuk kategori 21+. "Saya terima itu," kata dia.
Selain Prenjak, film garapan Wregas yang patut ditonton adalah Senyawa, Lemantun, Lembusura, dan Floating Chopin. Wregas memilih Lemantun sebagai film favoritnya. Hampir seluruh film berlatar belakang kampung halamannya: Yogyakarta.
Berikut Cuplikan Filmnya:
Sumber http://www.tempo.co
Baca juga
Presiden Joko Widodo Meluncurkan Akun Resmi Youtube
Apa Jadinya Jika Hakim Korup Mengadili Tersangka Koruptor?
klik untuk info |
klik untuk info |
klik untuk info |